Ø Manajemen diri
"Pokok dasar seseorang adalah akalnya, keluhurannya adalah agamanya, dan harga dirinya dan akhlaqnya" (Umar bin Khathab ra.).
Jika kita bercermin pada keberhasilan dakwah Rasulullah, sesungguhnya salah satu kuncinya adalah terencana dan terprogramnya langkah-langkah dakwah Beliau dan terjaganya keistiqamahan di jalan dakwah. Sehingga tak mengherankan bila dikatakan "gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan" karena suksa dalam menentukan tujuan sudah merupakan separuh dari keberhasilan itu sendiri. Hal ini sesungguhnya telah ditunjukkan dalam ayat Al-Qur'an, hadits nabawi, maupun atsar sahabat, dan hikmah salafush shalih agar setiap muslim mampu memanajemen diri secara baik. Allah Azza wa Jalla berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat" (Al-Hasyr: 18).
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah..." (Al-Qashash: 77).
Rasulullah SAW bersabda,
"Orang yang cendekia adalah yang mengoreksi dirinya dan mempersiapkan amal untuk bekal sesudah mati, dan orang bodoh (lemah) adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah" (HR. Tirmidzi).
"Orang mukmin makan dengan satu usus, sedang orang kafir makan dengan tujuh usus" (HR. Bukhari).
"Segeralah beramal shalih sebelum datang 7 perkara, yakni akankah engkau menanti selain kekafiran yang melalaikan, atau kekayaan yang menyesatkan, atau penyakit yang merusak, atau unsur yang disegerakan, atau dajjal perkara ghaib yang ditunggu-tunggu, atau kiamat. Padahal kiamat adalah peristiwa dasyat dan mengerikan" (HR. Tirmidzi).
"Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara (jaga) usia mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, masa luangmu sebelum masa sempitmu dan hidupmu sebelum matimu".
Namun sayang banyak kita saksikan diantara kaum muslimin justru menghabiskan waktunya untuk berhura-hura dan berfoya-foya, mematung diri di depan layar kaca menikmati telenovela sambil makan kwaci yang tiada bergizi, bercengkerama di pojok-pojok jalan dan gang sementara masjid sepi dari pengunjung, bergerombol di mal untuk mejeng dan menjajakan diri dengan berbagai aksesori sementara majelis taklim sunyi, miskin penghuni, dan masih banyak fenomena pahit mengiris hati kita saksikan sehari-hari.
Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan salafush shalih dalam membina diri dan memanajemen potensi. Mereka adalah orang-orang yang dapat membaca diri dan memetakan kemampuannya secara optimal.
Ada beberapa sebab dan faktor yang cukup berpengaruh terhadap rendahnya manajemen waktu pada kebaikan, khususnya membaca, belajar, dan mengkaji Islam.
1. Kurangnya pemahaman dan rasa tanggung jawab terhadap hakikat dan urgensi waktu
Yaitu ketiadaan rasa peduli terhadap apa yang dikerjakan, tanpa ada pembiasaan "planning" atau perencanaan kegiatan yang jelas, dihamburkan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat atau digunakan untuk kebaikan tetapi tidak dalam bidang strategis. Akibatnya antara potensi yang terbuang dengan hasil yang dicapai tidak seimbang dan terjadi pemborosan. Misalnya untuk menggelar satu acara "pengajian akbar" yang sekarang trend, harus menguras waktu, tenaga, biaya, personel yang cukup besar dan banyak. Sementara kontribusinya terhadap "ishlahul ummah" atau perbaikan umat tidak sepadan. Padahal jika hendak menggelar kajian rutin yang sistematis dan terprogram tentu saja akan lebih banyak kemanfaatan yang dapat diraih, sekaligus murah meriah.
Maka tidaklah heran bahwa Rasulullah SAW jauh-jauh hari telah mewanti-wanti dengan sebuah hadits, "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya (yaitu) kesehatan dan kesempatan" (HR. Bukhari).
Begitupun dengan sumpah dan peringatan Allah dalam beberapa surah Al-Qur'an, seperti Adh-Dhuha, Al-Ashr, sebagai rambu-rambu akan urgensi dan pentingnya menjaga waktu. Tetapi kebanykan manusia tidak menyadarinya.
2. Terbiasa dengan gaya hidup "taswif" (saufa-saufa, nanti...nanti)
Gejala yang banyak berkembang adalah kebiasaan untuk menunda-nunda pekerjaan, padahal saat itu sangat luang dan sangat mampu untuk mengerjakannya. Akan tetapi karena didorong oleh rasa malas yang menggelutinya, ditambah dengan kemanjaan pada perangkat teknologi dan piranti elektronik semacam tv, orang menjadi enggan bekerja cekatan dan cenderung menunda-nunda. Hal ini karena "merasa" banyak memiliki waktu, padahal sesungguhnya waktu itu hanya ada tiga, yaitu kemarin yang telah berlalu dan bukan lagi milik kita, sekarang yang sedang dijalani dan itulah yang sedang dalam genggaman kita, serta waktu nanti yang belum kita memilikinya. Bila menyadari hakikat ini, barulah kita tahu bahwa sebenarnya kewajiban-kewajiban kita itu lebih banyak dari pada waktu-waktu yang tersedia. Mengapa? Karena semakin kita memanfaatkan waktu justru akan semakin berharga waktu itu bagi kita. Demikian pula sebaliknya, semakin disia-siakan akan semakin hambar dan hampalah hidup ini, karena tidak ada kemanfaatan yang dapat diperbuat.
Berangkat dari sini, mestinya kita sadar untuk sesegera mungkin menunaikan tanggung-jawab dan amanah yang dipikul di pundak kita serta janganlah terbiasa untuk menunda-nunda pekerjaan. Karena bila ajal telah datang, ia akan datang dengan tiba-tiba, bisa datang dengan cepat tanpa dapat dimajukan atau diundur barang sedetikpun.
Allah SWT berfirman,
"Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula memajukannya" (Yunus: 49).
Redaksi senada juga termaktub dalam surat Al-A'raf ayat 34 dan surat An-Nahl ayat 61.
3. Pengaruh gaya hidup instan, serba cepat tersaji
Fenomena yang cukup menarik kita saksikan dan sungguh memprihatinkan adalah gaya hidup baru: instan. Yaitu menginginkan segala yang dikehendakinya segera terwujud, tanpa melalui sunnatullah atau sunah kauniyah berupa tahapan-tahapan dalam amal. Ini terjadi karena cepatnya teknologi yang tidak diimbangi kesiapan ruhani atau ma'nawiyah untuk mengendalikannya. Hidup laiknya sebungkus mie instan yang lima menit tersaji, atau bahkan mie remas yang sekali remas siap ditelan. Sehingga ia berfikir bahwa untuk mendapatkan sesuatu "harus" cara yang termudah tanpa perlu bekerja keras.
Akibat yang cukup gamblang adalah makin meruyaknya kejahatan sebagai cara untuk mewujudkan impian yang serba gemerlap, terlebih dipicu oleh gencarnya media menawarkan pola hidup hedonis, bersenang-senang dan pola hidup konsumtif-materialis.
Dalam konsep waktu, orang-orang semacam ini tidak sabar untuk merancang dan merencanakan hidupnya dalam tatanan disiplin dan ketertiban, karena yang penting adalah tujuan tercapai dan kesenangan serta hasrat terpuaskan. Sehingga segala cara ditempuh untuk merealisir tujuan. Penyuapan terjadi dimana-mana, kolusi dan korupsi merajalela, manipulasi dan konspirasi kejahatan menggejala di berbagai bidang, penjegalan, potong kompas adalah pemandangan yang terlalu sering kita saksikan, easy going menjadi alternatif pilihan, nepotisme menjadi cara "terbaik", karena -menurut mereka- mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal. Padahal jelas sekali bahwa sikap "instan" seperti ini termasuk metodologi penyesatan setan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
"Sikap tergesa-gesa adalah dari setan, dan pelan-pelan (berhati-hati) adalah dari Allah" (HR.Tirmidzi).
4. Terbiasa hidup serabutan dan tanpa aturan dalam melakukan sesuatu, baik yang dilaksanakan sendiri maupun kolektif
Kita saksikan etos kerja sebagian masyarakat kita sangat rendah, yaitu melakukan kegiatan dengan acak-acakan, tidak sistematis dan tidak beraturan. Sehingga banyak masalah penting atau primer yang tersingkirkan oleh masalah-masalah sekunder. Tiadanya prioritas dalam amal yang prinsip sehingga berakibat terbuangnya potensi percuma tanpa ada hasil. Selain itu rute perjuangan menjadi lebih panjang dan beban dakwah menjadi semakin berat. Sebagai contoh kecil, adalah fenomena maraknya pembangunan masjid tetapi tidak diiringi pemakmuran kegiatannya. Adanya kebanggaan untuk haji dan umrah berkali-kali yang lebih pada kenikmatan ibadah secara pribadi. Padahal disaat yang sama banyak kaum dhu'afa yang membutuhkan uluran tangan. Banyak digelar berbagai pesta yang mewah dan super meriah disaat sebagian besar umat tertimpa musibah kekeringan, kelaparan, kebakaran, dan sebagainya.
5. Warisan penjajah
Akibat dijajah yang terlalu lama, mental yang mendominasi kepribadian bukanlah mental orang merdeka yang tahu, mau dan mampu menata diri dengan baik, tetapi lebih suka untuk "ngawula" (mengabdikan diri) kepada kepentingan tertentu. Kita lebih senang untuk menjadi "buruh besar" daripada untuk menjadi "majikan kecil". Hal ini cukup dalam bentuk kreativitas usaha dan kinerja, tetapi lebih suka untuk menjadi buruh berbagai bidang kerja yang telah digelar. Laiknya sebuah kehidupan kolonial yang membagi manusia menjadi beberapa golongan, sehingga otoritas, dan kemandirianpun tidak segera muncul.
Mestinya kita sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa "kita adalah bangsa yang cinta damai tetapi kita lebih mencintai kemerdekaan". Dan hal ini sungguh sangat selaras dengan misi risalah Islam yaitu membebaskan manusia dari penghambaan sesama kepada penghambaan hanya kepada Rabb-nya manusia. Berarti merdeka itu harus, dan mandiri itu sebuah kemestian untuk menentukan nasib diri dan menentukan perubahan umat menuju sukses dunia akhirat.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu mengubah apa -apa yang ada pada diri mereka (jiwanya)" (Ar-Ra'du: 13).
Ini berarti, suksenya perubahan umat tergantung kemampuan masing-masing jiwa untuk "berani" mengubah dan menata kehidupannya, barulah kemudian Allah berkenan meridhai perubahan itu dengan hidayah dan inayah-Nya. Oleh karena itu, warisan-warisan kebiasaan di masa penjajahan harus diubah menjadi kebiasaan baru manusia merdeka, sehingga layak tampil ke depan membangun peradaban
time-management |
EmoticonEmoticon