Desiran angin pagi menyapa, di balut selendang kabut yang merambat menutup semburat emas dari ufuk timur. Dingin menusuk persendian. Jalan setapak yang berjajar rumput pun masih bergumul dengan ribuan buih embun. Entah sampai kapan, yang jelas ada saat dimana embun itu menguap menjadi kehampaan tanpa harapan.
Cermin itu tersenyum. Sempurna menampilkan bias tubuh putih sintal terlilit handuk sebatas lutut. Wajah ayu tersenyum di sana. Meratakan sisa-sisa make-up di pelipis setelah sebelumnya melapisi bibir tipis itu dengan lipstik..
"Maroon! Setengah jam lagi yu tampil, mungkin cukong itu akan membawa yu setelah yu turun panggung nanti!" kata sang Mami berdiri di depan pintu dengan jari lentik yang masih memainkan rokok menthol kegemarannya..
Maroon mengangguk, sedikit keraguan terlihat jelas dari raut wajahnya.
Telfon dari kampung yang mengabarkan bahwa ibunya tengah dirawat di rumah sakit membuat wanita itu gundah. Biaya perawatan dan kemo sangat mahal, beberapa minggu lalu ia sempat mengirim uang. Namun profesi sebagai penyanyi panggung hanya mampu mengirim sebatas untuk makan ibunya sehari-hari..
"Yu berubah pikiran? Kalau ia, katakan saja!"
"Tak lah, Mi. Aku butuh uang untuk biaya pengobatan ibu!"
"Oke. Bersiaplah!"
Maroon memandang ke arah suara, kemudian mengangguk. Ia sangat hormat kepada orang yang di panggilnya Mami itu. Perkenalan mereka bermula ketika Maroon tak sengaja ikut terkena razia Satpol PP yang gencar menjaring para Pekerja Seks Komersial untuk di bina. Wanita itu berdiri di pinggir jalan untuk mencari tumpangan. Dompetnya raib di ambil copet, ia tak bisa menunjukkan identitas dirinya dan terpaksa menurut saat petugas menggiringnya ke mobil dinas..
Malam itu dirinya baru saja tiba dari kampung, ia datang ke kota berniat mencari sang ayah yang sudah duapuluh tiga tahun meninggalkan ibu dan dirinya tanpa memberi nafkah. Berbekal uang tabungan dan alamat yang diberikan sang ibu dia memberanikan diri untuk mencari. Namun malang tak bisa di cegah, ia malah ikut terjaring razia itu..
Di kantor Satpol PP itulah Maroon mengenal Mami Ucik. Wanita berambut pirang dan berhidung mancung itu hendak menjemput 'dua putrinya' yang semalam ikut terkena razia. Mami Ucik duduk di sebelah Maroon yang terlihat bingung. Wanita itu tersenyum manis..
Sebagai seorang mucikari yang sudah melintang puluhan tahun, wanita itu pasti bisa membedakan mana wanita penghibur dan mana yang tidak. Dari wajah pun ia bisa mengenali. Wajah Maroon begitu polos tanpa guratan make-up, rambutnya dikelabang, ia hanya mengenakan dress hitam dan sebuah jaket biru yang lusuh..
"Yu pasti korban salah tangkap!" Wanita itu memulai pembicaraan dengan Maroon.
Maroon mengangguk, ia masih tertunduk lesu. Bayangan sang ibu yang tengah duduk di kursi roda karena stroke membuatnya ingin berteriak dan menangis. Kenapa Tuhan begitu sering melayangkan cobaan untuknya, sekali menerima jawaban atas pertanyaan. Justru cobaan lain datang membawa lagi sebuah pertanyaan untuk di jawab. Apakah Tuhan menyayangiku? Entahlah, aku hanya bisa berjalan di atas tanya-tanya yang sudah mengakar di otak tanpa menemui titik terang di mana jawaban itu berada.
Kenapa aku dilahirkan? Apa ayah mencintai ibu, Kenapa dia meninggalkan ibu? Kenapa ayah tidak mencariku? Kenapa harus ibu yang sakit stroke, padahal beliau satu-satunya harta yang ia miliki. Apa semua ini sudah adil untukku! Apa harus terus berjalan terjal untuk menemui suatu keadilan. Apa aku harus membelinya? Atau Tuhan memang sudah membagi kadar keadilan dan inilah kadar yang harus aku terima.
Ah.. Entahlah, pikiran itu terus menceracau tanpa muara. Hanya kata-kata dari ibunya yang selalu ampuh untuk menghentikan tanya-tanya itu. Bahwa Tuhan maha adil, kau akan dapatkan jika kuasaNya sudah berkehendak. Apapun itu, Tuhan sedang mengujimu.
"Kalau yu mau, ay bisa bebaskan yu dari sini. Tapi yu harus bekerja pada ay sebagai gantinya!" Mami Ucik memberi tawaran.
"Kerja apa maksudnya?"
"Ay bukan orang yang suka main-main. Terus terang ay seorang Mami, menampung itu gadis-gadis pesanan cukong-cukong kaya yang biasa di sewa untuk memuaskan nafsu."
"Germo?" Maroon mendelik.
Mami Ucik tertawa seraya mengangguk. "Tapi ay bukan Mami gila duit, mereka putri-putri ay itu, ay kasih kebebasan. Kalau masih mau kerja sama ay ya terserah, bagi hasil untuk ay 60 persen. Kalau bosan dan mau pergi, ya terserah. Ay tak pernah ada larang-larang."
"Aku butuh pekerjaan, tapi bukan yang seperti itu!"
"Oke, kau punya keahlian?"
"Aku bisa bersih-bersih rumah, masak, ngepel!" Maroon menjelaskan panjang lebar.
"Ouh... No..no...no..! Bukan keahlian seperti itu, pijit, potong rambut atau nyanyi.
Pokoknya keahlian yang semacam itu."
"Nyanyi. Ya aku bisa nyanyi.Aku pernah menjuarai lomba nyanyi tingkat kabupaten dulu!" Maroon mengangguk.
"Good job! Yu ikut ay sekarang."
Mami Ucik berjalan mendekati petugas yang tengah sibuk dengan komputer di meja kerjanya, sedikit berbincang, tak butuh waktu lama Mami Ucik bersalaman dan meninggalkan amplop putih yang di bungkus dengan tiga lembar surat pernyataan yang sebelumnya telah di isi oleh Maroon dan dua 'putrinya'.
* * *
Setengah jam itu sudah berlalu. Kini Maroon tengah memandang cermin yang sekali lagi tersenyum dan membiaskan kesempurnaan bentuk tubuhnya. Mengenakan drees ketat berwarna merah yang memperlihatkan leher dan kepadatan dadanya, juga dengan high heels senada yang menopang kaki jenjangnya. Pesona Merah Maroon memang tak pernah sirna.
Dengan anggun Maroon melangkah menaiki panggung kecil dimana biasanya ia menyenandungkan suara merdunya setiap malam. Kelihaian tubuhnya yang luwes bergerak mengikuti irama membuat semua mata terpana. Termasuk salah satu cukong dengan duit tebal bernama Burhan.
Lelaki itu berulang kali berbicara kepada Mami Ucik untuk membujuk Merah Maroon agar ia bersedia melayaninya. Berapapun uang yang Maroon minta, pasti akan ia berikan cuma-cuma. Kecantikan Merah Maroon telah membius otaknya.
"Ay akan coba, tapi tidak janji. Ay bukan Mami yang suka memaksa. Maroon sangat istimewa untuk Ay." kata Mami Ucik seraya menyulut rokok menthol yang kala itu bermain di jari telunjuk dan tengahnya.
* * *
Saat itu tiba, saat cukong kaya bernama Burhan berhasil membawa merpati Merah Maroon kedalam sangkar kemewahan. Kalung berlian seharga ratusan juta langsung ia perlihatkan di depan mata.
"Maroon tak butuh itu Tuan, Maroon hanya butuh uang untuk pengobatan ibu di kampung. Sekarang Tuan lakukan apa yang Tuan mau pada tubuh Maroon, agar secepatnya Maroon dapat mengirim uang dan nyawa ibu selamat."
"Ah.. Kau tak perlu repot. Sekarang tinggal sebutkan berapa nomer rekening yang akan kau kirimi uang, lalu sebut nominalnya." Burhan meraih hanphone dan mencari layanan perbankan. "Tapi syaratnya kau harus temani aku sampai esok hari." sambung lelaki itu.
Maroon mengangguk, apapun akan ia lakukan untuk menyelamatkan sang ibu. Hanya sang ibulah harta yang paling berharga. Semenjak dalam kandungan ia hanya mendengar suara tangis ibu. Bahkan sampai umurnya yang menginjak duapuluh tiga tahun ia sama sekali belum pernah melihat dan mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Maroon memandang lekat-lekat lelaki yang tengah bertelanjang dada di hadapannya. Hidungnya mancung, bola mata berwarna coklat, kulit putih bersih terlihat lebih muda walau di rambutnya sudah nampak uban. Ia melihat Tuan Burhan berbeda dari cukong-cukong yang sering merayunya atau memboking 'putri-putri' Mami.
"Mendekatlah, Sayang!" Suara itu menelisik pelan di telinga Merah Maroon.
Wanita itu terpejam. Ia sungguh pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini. Senyum ibunya selalu terniang, saat lelaki itu kini mulai melucuti baju merah yang ia kenakan. Menjamah inci demi inci setiap lekuk tubuhnya. Kembali senyum ibu menghias di pelupuk mata. Membuatnya tak lagi merasakan sakit saat lembar tipis mahkota yang dia pertahankan seumur hidup kini telah robek mengucurkan darah segar. Meninggalkan noda merah pada sprai putih yang menjadi saksi bisu.
Kembali Maroon menatap Tuan Burhan. Lelaki itu kini telah terbaring di sebelahnya. Masih bertelanjang dada ia bangkit lalu tersenyum, membelai rambut berombak yang terurai milik Maroon.
"Aku jatuh cinta padamu. Aku ingin memilikimu. Apa kamu mau menikah denganku?" Lelaki itu menghujani pipi Maroon dengan kecupan mesra.
Maroon mengangguk, ia setuju. Pikirannya kembali pada pertanyaan-pertanyaan yang mengakar di otak. Inikah keadilan Tuhan. Atau inilah jalannya agar dia bisa mendapat keadilan Tuhan. Lelaki ini akan menikahiku setelah sebelumnya meniduriku. Bila ini kehendakNya, aku harus menjalaninya.
* * *
Pagi itu Tuan Burhan menjemput Maroon, mereka pergi ke kampung untuk memberitahu kabar rencana pernikahannya kepada Ibu. Merah Maroon juga telah meminta izin kepada Mami Ucik. Wanita berambut pirang itu sempat menitikkan air mata saat Maroon masuk ke dalam Pajero putih yang terparkir di halaman.
"Maroon, apa penyakit yang di derita ibumu?" Tuan Burhan membuka kesunyian.
"Stroke, beliau sudah lama menderita penyakit itu, semenjak aku berusia limabelas tahun. Beliau orang hebat, mampu menghidupiku seorang diri. Ayah pergi entah kemana, dia meninggalkan ibu dan aku semenjak dalam kandungan. Aku sungguh merinduinya, aku harap ketika nanti jadi istrimu, kau tidak keberatan aku mencari ayah."
"Tentu tidak, aku akan membantu mencari ayahmu!"
* * *
Sampailah mobil putih di halaman sebuah rumah kecil bercat hijau. Rumput dan bunga-bunga berjajar rapi di teras. Sebuah pohon Jambu juga tumbuh menjulang di halaman samping. Buahnya tengah menguning. Maroon berlari kecil, ia melonjak-lonjak untuk mendapatkan buah jambu itu.
Tuan Burhan mendekat, ia tersenyum melihat tingkah lugu Maroon. Lelaki itu duduk di kursi teras tanpa aba-aba.
Maroon mendekat. Beberapa buah Jambu ia letakkan di meja. Ia bergegas membuka pintu, berseru memanggil nama sang ibu.
Dengan bantuan kursi roda sang ibu keluar dari dapur, ia tersenyum melihat anak gadisnya telah berdiri di hadapannya. Wanita itu menahan haru, ia memeluk dan mencium kening Maroon berulang kali.
Maroon menceritakan tentang rencana pernikahannya bersama Tuan Burhan. Wanita itu tersenyum, ia berharap putri satu-satunya itu bisa merasakan bahagia.
* * *
"Antar ibu menemuinya, Nak!"
Maroon tersenyum, ia perlahan mendorong kursi roda milik ibunya. Hatinya begitu gembira melihat reaksi ibunya yang hangat menyambut lelaki pilihannya itu.
"Selamat siang!" ibu menyapa ramah.
Tuan Burhan menoleh mencari sumber suara. Perlahan matanya mengamati sosok yang tengah duduk di kursi roda. Bibirnya tak bersuara. Tubuhnya lemas. Ketika dia menyadari sosok itu.
Ibu Maroon juga terpaku. Wajah lelaki di hadapannya tak mungkin pernah ia lupakan, lelaki itu yang dulu meninggalkannya. Duapuluh tiga tahun ia tak sedikitpun datang untuk menampakkan diri.
"Tuan Rudin Fatha Burhan, kau akan menikahinya? Dia anakmu. Gadis bernama Merah Maroon itu anak kandungmu!" sang ibu berteriak meluapkan amarah. Segala luka yang ada kini kembali menganga.
"Tidak, itu tidak mungkin!" Maroon mundur beberapa langkah, ia menangis. Berteriak sambil berlari, ia tak lagi peduli akan teriakan yang memanggil namanya.
Hati kecil itu telah remuk. Lelaki itu ayah kandungnya. Lelaki yang telah merenggut keperawananya. Oh Tuhan.
Maroon terus berlari, ia ingin pergi jauh. Membuang semua tanya yang mengakar di otak. Hingga kehendakNya datang. Sebuah Truk melintas dan menabrak tubuh Merah Maroon.
Gadis itu tergeletak, tubuh itu remuk, dengan air mata yang bercampur darah ia meregang nyawa.
Tamat
Cerpen Merah Maroon |
MERAH MAROON
EmoticonEmoticon